PPI Gelar Webinar, Bahas Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Reproduksi

POSKOTA. CO – Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI) Giwo Rubianto Wiyogo menyebut perubahan iklim menjadi tantangan baru dalam pembangunan kesehatan nasional termasuk pada masalah kesehatan reproduksi. Hal tersebut disampaikan Giwo pada Webinar bertema Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Reproduksi, yang digelar PPI bekerjasama dengan Perkumpulan Budi Kemuliaan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kamis (13/10/2022).

Webinar menghadirkan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof dr Mondastri Korib Sudaryo yang diwakili oleh Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura dan Administrasi Umum Dr Milla Herdayati, SKM.MSi sebagai keynote speaker. Hadir sebagai narasumber Dr. Ir. Dodo Gunawan DEA, Plt Deputi Bidang Klimatologi/Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dr Adib Khumaidi, Sp.OT, Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Dr Heru P Kasidi, MSc, dari Pita Putih Indonesia, dan Prof Dr Budi Haryanto MSPH, MSc, dari FKM UI.

“Kita masih menghadapi tingginya angka kematian ibu atau AKI yang masih nomor 5 tertinggi di ASEAN,” kata Giwo.

Selain itu, Indonesia juga menghadapi masalah di mana separuh ibu hamil menderita anemia dan sepertiga ibu hamil masih mengalami kurang energi kronis.

Sementara itu kesehatan neonatal lanjut Giwo juga belum baik. Angka kematian bayi masih pada angka 19,5/1.000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatal masih pada angka 15/1.000 kelahiran hidup. Stunting pada Balita masih berada pada angka 24%. Keadaan ini masih menjadi beban bidang kesehatan di Indonesia, dan yang lebih memprihantinkan juga, bahwa mereka adalah sumber dari calon sumber daya manusia generasi penerus.

“Padahal di sisi lain, pembangunan kualitas manusia telah ditempatkan sebagai prioritas pembangunan nasional,” tegas Giwo.

Lebih lanjut Giwo menyebut bahwa dalam persoalan pembangunan Kesehatan, Indonesia bahkan tataran dunia kini menghadapi tantangan baru yang nyaris luput dari perhatian masyarakat yakni perubahan iklim. Dalam laporannya di tahun 2022 ini Intergovernment Panel on Climate Change (IPCC) yang merupakan think tank dari PBB untuk perubahan iklim, menyampaikan bahwa perubahan iklim berdampak negatif pada kehamilan dan bayi dalam kandungan.  Sudah banyak juga penelitian yang menunjukkan bukti-bukti ini.

Bersamaan dengan itu, IPCC juga menyampaikan bahwa perubahan iklim dan dampaknya sampai saat ini terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan dan lebih buruk dari yang diperhitungkan.

Diakui Giwo, sebagian dampak dari perubahan iklim kini bahkan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Walaupun sudah ada bentuk-bentuk solusi, namun masih harus mendapatkan kontribusi yang besar untuk memberikan dampak yang berarti.

Perkumpulan profesi seperti FIGO (federasi internasional Ginekologi dan Obstetri) sudah memberikan perhatian dan Amerika Serikat sudah menerbitkan Undang-Undang tentang perlindungan ibu dan anak dari dampak perubahan iklim. Hal ini menunjukkan bahwa dampak itu memang sesuatu yang serius dan menjadi tantangan untuk masa kini dan masa depan.

Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu mencapai 4.627 jiwa pada 2020. Angka tersebut meningkat 10,25% dibandingkan dengan tahun sebelumnya hanya 4.197 jiwa dan Jumlah kematian ibu di Jawa Barat tercatat paling banyak, yakni mencapai 745 jiwa pada 2020, tentunya masalah ini akan semakin besar jika tidak kita tangani sedini mungkin.

Menurut Giwo, dampak perubahan iklim pada kesehatan ibu dan kesehatan reproduksi menjadi sebuah hal yang strategis untuk dibahas dan diangkat. Jika upaya peningkatan kesehatan termasuk juga kesehatan reproduksi dapat terus ditingkatkan dan dikendalikan, tetapi pada dampak perubahan ikim tentu tidak dapat dikendalikan, sampai saat ini dan masih akan berlangsung sampai waktu yang panjang.

Dengan pertimbangan itulah, Pita Putih Indonesia menggagas upaya dengan melakukan kajian dan diskusi-diskusi. “Kami melakukan kajian berupa review literature dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan di dunia untuk menghimpun informasi tentang dampak perubahan iklim. Selain itu kami juga melakukan penelitian eksploratif di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Malang,” tambahnya.

PPI juga terus membangun dukungan untuk dapat melakukan analisis data yang lebih besar. Data tentang masalah ini di Indonesia memang masih sangat terbatas.

Selain fokus pada upaya penurunan AKI sebagaimana menjadi target SDG’s 2030, PPI yang merupakan organisasi dari aliansi Global White Ribbon Alliance (GWRA) yang berkedudukan di Washington D.C., dan bermitra dengan organisasi Internasional lainnya juga berupaya menurunkan angka prevalansi stunting yang ditargetkan oleh Presiden tahun 2024 menjadi 14%. Sedangkan berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting berada diangka 24,4%.

Giwo menyampaikan apresiasi dan terimakasihnya kepada kepada Perkumpulan Budi Kemuliaan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang telah bekerjasama dengan PPI untuk mencari jalan, bagaimana masalah dampak perubahan iklim dapat diangkat untuk mendapatkan perhatian dari kita semua.

“Kami bersyukur pada hari ini para pakar dari BMKG, dari POGI, IDAI, PPI juga dari FKM UI dapat memberikan perhatian melalui seminar ini,” tandas Giwo.

Pita Putih Indonesia (PPI) dibentuk pada tahun 1999 untuk mendukung upaya mengatasi kesenjangan kesehatan ibu dan anak di Indonesia dengan focus pada upaya  percepatan penurunan Angka Kematian Ibu dan Keselamatan Ibu hamil, melahirkan, bayi baru lahir dan anak. PPI  berkedudukan di Jakarta sebagai lembaga masyarakat yang tidak mengenal status quo dan pasif, namun selalu bergerak positif, inovatif, kreatif dengan tetap tidak bernuansa politis di dalam melaksanakan misinya. Serta berpegang pada keselarasan nilai nilai kehidupan, situasi sosial ekonomi dalam masyarakat yang mana sasaran pada saat ini, peduli pada pencapaian target SDGs 2030, khususnya Penurunan Angka Kematian Ibu.

Adapun tujuan dan gerakannya adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan semua anggota masyarakat agar mampu menjalani kehidupan yang sehat dan melek kesehatan mandiri . Dan gerakannya meningkatan kesehatan reproduksi, Kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak serta remaja, mempromosikan kesetaraan gender dalam hal meningkatkan hak perlindungan dan hak perempuan dengan memberdayakan perempuan di semua tingkatan komunitas sub nasional, nasional, regional, dan global yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, fokus pada komunitas rentan dan miskin serta terdiskriminasi. (*/fs)

link: POSKOTA. CO – Ketua Umum Pita Putih Indonesia (PPI) Giwo Rubianto Wiyogo menyebut perubahan iklim menjadi tantangan baru dalam pembangunan kesehatan nasional termasuk pada masalah kesehatan reproduksi. Hal tersebut disampaikan Giwo pada Webinar bertema Dampak Perubahan Iklim pada Kesehatan Reproduksi, yang digelar PPI bekerjasama dengan Perkumpulan Budi Kemuliaan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Kamis (13/10/2022). Webinar menghadirkan Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI Prof dr Mondastri Korib Sudaryo yang diwakili oleh Wakil Dekan Bidang Sumber Daya, Ventura dan Administrasi Umum Dr Milla Herdayati, SKM.MSi sebagai keynote speaker. Hadir sebagai narasumber Dr. Ir. Dodo Gunawan DEA, Plt Deputi Bidang Klimatologi/Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Dr Adib Khumaidi, Sp.OT, Ketua Ikatan Dokter Indonesia, Dr Heru P Kasidi, MSc, dari Pita Putih Indonesia, dan Prof Dr Budi Haryanto MSPH, MSc, dari FKM UI. “Kita masih menghadapi tingginya angka kematian ibu atau AKI yang masih nomor 5 tertinggi di ASEAN,” kata Giwo. Selain itu, Indonesia juga menghadapi masalah di mana separuh ibu hamil menderita anemia dan sepertiga ibu hamil masih mengalami kurang energi kronis. Sementara itu kesehatan neonatal lanjut Giwo juga belum baik. Angka kematian bayi masih pada angka 19,5/1.000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatal masih pada angka 15/1.000 kelahiran hidup. Stunting pada Balita masih berada pada angka 24%. Keadaan ini masih menjadi beban bidang kesehatan di Indonesia, dan yang lebih memprihantinkan juga, bahwa mereka adalah sumber dari calon sumber daya manusia generasi penerus. “Padahal di sisi lain, pembangunan kualitas manusia telah ditempatkan sebagai prioritas pembangunan nasional,” tegas Giwo. Lebih lanjut Giwo menyebut bahwa dalam persoalan pembangunan Kesehatan, Indonesia bahkan tataran dunia kini menghadapi tantangan baru yang nyaris luput dari perhatian masyarakat yakni perubahan iklim. Dalam laporannya di tahun 2022 ini Intergovernment Panel on Climate Change (IPCC) yang merupakan think tank dari PBB untuk perubahan iklim, menyampaikan bahwa perubahan iklim berdampak negatif pada kehamilan dan bayi dalam kandungan. Sudah banyak juga penelitian yang menunjukkan bukti-bukti ini. Bersamaan dengan itu, IPCC juga menyampaikan bahwa perubahan iklim dan dampaknya sampai saat ini terjadi lebih cepat dari yang diperkirakan dan lebih buruk dari yang diperhitungkan. Diakui Giwo, sebagian dampak dari perubahan iklim kini bahkan sudah tidak bisa diperbaiki lagi. Walaupun sudah ada bentuk-bentuk solusi, namun masih harus mendapatkan kontribusi yang besar untuk memberikan dampak yang berarti. Perkumpulan profesi seperti FIGO (federasi internasional Ginekologi dan Obstetri) sudah memberikan perhatian dan Amerika Serikat sudah menerbitkan Undang-Undang tentang perlindungan ibu dan anak dari dampak perubahan iklim. Hal ini menunjukkan bahwa dampak itu memang sesuatu yang serius dan menjadi tantangan untuk masa kini dan masa depan. Di Indonesia, berdasarkan data dari Kementerian Kesehatan, jumlah kematian ibu mencapai 4.627 jiwa pada 2020. Angka tersebut meningkat 10,25% dibandingkan dengan tahun sebelumnya hanya 4.197 jiwa dan Jumlah kematian ibu di Jawa Barat tercatat paling banyak, yakni mencapai 745 jiwa pada 2020, tentunya masalah ini akan semakin besar jika tidak kita tangani sedini mungkin. Menurut Giwo, dampak perubahan iklim pada kesehatan ibu dan kesehatan reproduksi menjadi sebuah hal yang strategis untuk dibahas dan diangkat. Jika upaya peningkatan kesehatan termasuk juga kesehatan reproduksi dapat terus ditingkatkan dan dikendalikan, tetapi pada dampak perubahan ikim tentu tidak dapat dikendalikan, sampai saat ini dan masih akan berlangsung sampai waktu yang panjang. Dengan pertimbangan itulah, Pita Putih Indonesia menggagas upaya dengan melakukan kajian dan diskusi-diskusi. “Kami melakukan kajian berupa review literature dari berbagai penelitian yang sudah dilakukan di dunia untuk menghimpun informasi tentang dampak perubahan iklim. Selain itu kami juga melakukan penelitian eksploratif di Kabupaten Tangerang, Kabupaten Karawang dan Kabupaten Malang,” tambahnya. PPI juga terus membangun dukungan untuk dapat melakukan analisis data yang lebih besar. Data tentang masalah ini di Indonesia memang masih sangat terbatas. Selain fokus pada upaya penurunan AKI sebagaimana menjadi target SDG’s 2030, PPI yang merupakan organisasi dari aliansi Global White Ribbon Alliance (GWRA) yang berkedudukan di Washington D.C., dan bermitra dengan organisasi Internasional lainnya juga berupaya menurunkan angka prevalansi stunting yang ditargetkan oleh Presiden tahun 2024 menjadi 14%. Sedangkan berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) tahun 2021, prevalensi stunting berada diangka 24,4%. Giwo menyampaikan apresiasi dan terimakasihnya kepada kepada Perkumpulan Budi Kemuliaan dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia yang telah bekerjasama dengan PPI untuk mencari jalan, bagaimana masalah dampak perubahan iklim dapat diangkat untuk mendapatkan perhatian dari kita semua. “Kami bersyukur pada hari ini para pakar dari BMKG, dari POGI, IDAI, PPI juga dari FKM UI dapat memberikan perhatian melalui seminar ini,” tandas Giwo. Pita Putih Indonesia (PPI) dibentuk pada tahun 1999 untuk mendukung upaya mengatasi kesenjangan kesehatan ibu dan anak di Indonesia dengan focus pada upaya percepatan penurunan Angka Kematian Ibu dan Keselamatan Ibu hamil, melahirkan, bayi baru lahir dan anak. PPI berkedudukan di Jakarta sebagai lembaga masyarakat yang tidak mengenal status quo dan pasif, namun selalu bergerak positif, inovatif, kreatif dengan tetap tidak bernuansa politis di dalam melaksanakan misinya. Serta berpegang pada keselarasan nilai nilai kehidupan, situasi sosial ekonomi dalam masyarakat yang mana sasaran pada saat ini, peduli pada pencapaian target SDGs 2030, khususnya Penurunan Angka Kematian Ibu. Adapun tujuan dan gerakannya adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan semua anggota masyarakat agar mampu menjalani kehidupan yang sehat dan melek kesehatan mandiri . Dan gerakannya meningkatan kesehatan reproduksi, Kesehatan ibu, bayi baru lahir dan anak serta remaja, mempromosikan kesetaraan gender dalam hal meningkatkan hak perlindungan dan hak perempuan dengan memberdayakan perempuan di semua tingkatan komunitas sub nasional, nasional, regional, dan global yang berdasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia, fokus pada komunitas rentan dan miskin serta terdiskriminasi. (*/fs)